Setiap komunitas budaya Melayu memiliki upacara ritual yang masih dipercayai oleh pemiliknya dan dihubungkan dengan kepercayaan yang besifat gaib. Kesultanan Serdang juga memiliki kekayaan tradisi yang berupa acara dan upacara ritual yang merupakan salah satu budaya Melayu yang paling tua. Upacara ritual masih dilakukan oleh masyarakat Melayu Serdang karena etnis ini merupakan salah satu kelompok masyarakat yang mendapat pengaruh dari kebudayaan Hindu, Budha, dan Islam.
Salah satu dari sekian banyak upacara ritual masyarakat Melayu Serdang adalah ritual upacara Jamuan Laut yang merupakan salah satu jenis upacara tolak bala. Upacara ritual Jamuan Laut dimaksudkan untuk memberikan persembahan kepada para penunggu laut (jimbalang) yang memang telah dikenal dekat oleh masyarakat Melayu. Upacara Jamuan Laut ini berasal dari masyarakat Melayu lama yang terus hidup dan eksis sesuai dengan perkembangan kepercayaan masyarakat Melayu itu sendiri. Kepercayaan atau upacara ini mempunyai asal yang sama dengan asal nenek moyang bangsa-bangsa di Nusantara yakni dari Asia Belakang Indo-China yang datang sekitar ratusan tahun yang lalu.
Upacara Jamuan Laut diselenggarakan oleh kaum nelayan yang mendiami daerah pesisir di tepi pantai sekurang-kurangnya 3 kali dalam setahun. Upacara ini dilakukan jika dirasa laut sudah berkurang menghasilkan ikan seperti biasanya, atau ketika banyak nelayan yang mengalami kecelakaan di laut sewaktu mencari ikan. Oleh karena itu, dibuatlah upacara Jamuan Laut dengan memanggil pawang laut untuk memimpin upacara tersebut.
Pawang laut adalah orang yang diyakini mempunyai kekuatan magis dan mampu menguasai jin atau roh jahat yang berdiam di laut. Orang yang dipanggil sebagai pawang laut berperan penting dalam kehidupan nelayan. Pawang laut menjadi tumpuan kaum nelayan untuk berkomunikasi dengan roh-roh gaib menguasai samudera. Kaum nelayan percaya bahwa makhluk halus itu akan murka jika ada yang melanggar pantangan. Komunitas nelayan masyarakat Melayu Sumatera Timur (Serdang) meyakini bahwa gangguan makhluk halus laut hanya dapat diselesaikan oleh pawang laut. Beberapa pantangan itu antara lain adalah sebagai berikut:
Status pawang laut diperoleh dari warisan keluarga yang diemban secara turun-temurun. Pada umumnya, pawang laut adalah seorang yang berusia lanjut, mengetahui salasilah kampung dan tempat upacara Jamuan Laut dilaksanakan, kemudian hafal dan memahami para Nabi dan Rasul Allah. Pawang Laut juga dianggap masyarakat asli karena atas kuasa Tuhan dapat melindungi nelayan, serta secara moral bertanggung jawab terhadap kelangsungan adat-istiadat masyarakatnya. Oleh masyarakat setempat, pawang laut dipercaya dapat melindungi mereka ketika menangkap ikan di laut dan mampu menjaga daerah tersebut dari serangan wabah penyakit.
Kedudukan pawang laut dalam kehidupan sehari-hari tetap sederajat dengan masyarakat lainnya, baik sebagai nelayan ataupun pengawas. Ia tidak mendapatkan keistimewaan yang melebihi individu anggota masyarakat lainnya. Namun, seorang Pawang Laut harus menjadi teladan dan berkuasa penuh atas pengharaman sekaligus pemberantasan perbuatan-perbuatan maksiat, seperti judi, mabuk minuman keras, pelacuran, dan lain sebagainya.
Ritual adat upacara Jamuan Laut idealnya dilaksanakan 4 tahun sekali, namun itu bukan hal yang wajib, biasanya disesuaikan dengan datangnya “isyarat” (biasanya berupa mimpi) yang dialami oleh pawang laut. Oleh masyarakat lokal diyakini bahwa “isyarat” itu akan datang mengikuti kepentingan keadaan masyarakat, misalnya ketika perolehan ikan dirasakan mulai berkurang. Hari pelaksanaan upacara Jamuan Laut tidak bisa dilakukan sembarang waktu.
Ketentuan waktu pelaksanaan upacara Jamuan Laut biasanya dilakukan pada tanggal 1, 5, dan 30 pada bulan Hijriah atau bulan Juli dan Agustus pada penanggalan Masehi. Lamanya waktu yang diperlukan untuk upacara Jamuan Laut ditentukan oleh kesepakatan antara pawang laut, tokoh adat atau wakil dari Kesultanan Serdang, utusan pemerintah daerah, pemuka masyarakat, tokoh agama, dan anggota masyarakat lainnya. Upacara Jamuan Laut biasanya berlangsung selama tiga hari, tujuh hari, atau sembilan hari.
Jenis Persembahan
Kaum nelayan mempercayai bahwa seluruh lautan dikuasai oleh makhluk halus, yakni jin atau roh jahat yang disebut sebagai Mambang Laut. Menurut kepercayaan masyarakat lokal, Mambang Laut terbagi atas 8 penguasa yang bersemayam di 8 penjuru mata angin. Masing-masing penguasa laut itu dikenal dengan nama: Mayang Mengurai, Laksamana, Mambang Tali Arus, Nambang Jeruju, Katimanah, Panglima Merah, Datuk Panglima Hitam, dan Babu Rahman. Empat dari kedelapan jin laut tersebut merupakan pemimpin dari seluruh jin yang ada di laut, yakni Datuk Panglima Hitam (penguasa bagian utara), Mambang Kali Arus (penguasa bagian selatan), Mayang Mengurai (penguasa bagian timur), dan Katimanah (penguasa sebelah barat).
Sebagai titik tengah dari empat arah kekuasaan penguasa laut (utara, selatan, timur, dan barat), diletakkan Tapak Jamuan Laut. Letak Tapak Jamuan Laut ini sebelumnya telah ditentukan melalui musyawarah antara ketua adat, pemuka masyarakat, utusan pemerintah daerah, dan pawang laut. Posisi Tapak Jamuan Laut harus terletak di hamparan lahan yang luas, dipercaya bersih dari kemaksiatan, dan dipastikan tidak mengganggu pepohonan di sekitarnya. Selain itu, letak Tapak Jamuan Laut harus mengandung nilai historis bagi masyarakat daerah itu (biasanya daerah yang diyakini sebagai tempat awal kedatangan masyarakat di tempat itu) dan lokasi itu mudah didatangi oleh khalayak ramai.
Sesaji atau perlengkapan yang akan dipersembahkan dalam upacara Jamuan Laut disebut Ramuan Jamu Laut. Benda-benda yang akan dipersembahkan mengandung makna tertentu serta disesuaikan dengan adat-istiadat dan kepentingan sosial-budaya masyarakat setempat. Persembahan Ramuan Jamu Laut terdiri dari:
Tata Cara Upacara Jamuan Laut
Pelaksanaan upacara Jamuan Laut menganut cara dan syarat yang berbeda-beda di masing-masing daerah pesisir. Semua tergantung permintaan pawang laut . Misalnya dalam penyelenggaraan upacara ritual Jamuan Laut masyarakat Melayu Serdang yang dilangsungkan di Pantai Cermin yang memiliki perbedaan dalam hal penyampaian dengan pelaksanaannya dari upacara ritual tersebut dengan daerah Melayu lainnya yang ada di Sumatra Timur (Sumatra Utara). Upacara ritual Jamuan Laut masyarakat Melayu Serdang di Pantai Cermin, baik secara kepercayaaan maupun secara kultur, menimbulkan fenomena sosial dari masyarakat Melayu Serdang tersebut sebagai komunitas pendukungnya.
Tempat penyelenggaraan upacara Jamuan Laut masyarakat Melayu yang tinggal di wilayah Kesultanan Serdang dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian. Pertama, kawasan yang diperuntukkan untuk tahap persiapan penyelenggaraan, yaitu ruangan dari rumah atau ruang balai desa (kampung) untuk bermusyawarah. Kedua, tempat yang diperuntukkan bagi seluruh peserta upacara, yaitu di pinggir laut atau pantai dalam jarak sekitar 300 meter menuju ke tengah laut. Ketiga, kawasan yang diperuntukkan dan dikuasai oleh para pawang laut guna keperluan penyampaian persembahan, misalnya di Pantai Jaring Halus dan Pantai Cermin.
Upacara Jamuan Laut terdiri dari beberapa tahap aktivitas, di luar tahap persiapan, yaitu: (1) pemancangan panji dan pembuatan balai, (2) penyembelihan hewan, (3) menguras pantai dan mengantar persembahan, (4) barjanji (ikriar) dan doah (berdoa), (5) pengumuman pantangan, dan (6) makan bersama.
Pertama-tama didirikan balai upacara, yaitu sebuah bangunan sederhana yang dibangun di tempat upacara. Balai itu dibangun dengan batang pohon, berwujud tanpa dinding, dan beratap anyaman daun kelapa. Letaknya memanjang dan sejajar dengan sisi pantai. Balai-balai ini digunakan untuk meletakkan perlengkapan yang dipersembahkan (sesaji) dan dipercayai masyarakat sebagai tempat menerima makhluk halus. Di balai itu, pawang laut mengibarkan bendera untuk memanggil makhluk halus penunggu laut. Selain itu, pawang laut juga menaburkan bunga dan kemudian meletakkan sesaji yang akan dipersembahkan untuk para penguasa laut.
Seluruh anggota masyarakat diharapkan menyumbang beras semampunya, sebagian digunakan untuk kepentingan upacara dan sebagian lainnya untuk makan bersama-sama. Selanjutnya, disediakan sebatang bambu berukuran 6 meter untuk memancang bendera dan panji-panji yang dilengkapi dengan kain berwarna putih berukuran dua meter. Di kain putih itu telah dituliskan kalimat syahadat dengan menggunakan aksara Arab-Jawi. Pemancangan panji-panji dilakukan tujuh hari sebelum pelaksanaan upacara. Perhitungan hari yang dianggap tepat adalah pada tarikh 13, 15, atau 17 dalam penanggalan tahun Masehi. Pemancangan panji-panji dilakukan oleh para pawang laut pada saat matahari terbit.
Di balai upacara, pawang laut mengibarkan bendera untuk memanggil para penunggu laut. Bendera yang diikat pada potongan batang bambu dipacakkan di dua tempat penyelenggaraan upacara dan satu lagi dipacakkan sejauh 100 meter dari tempat-tempat upacara itu. Masyarakat mempercayai bahwa ritual pemancangan panji-panji merupakan tanda pemberitahuan kepada para penguasa laut bahwa akan diselenggarakan upacara Jamuan Laut. Tahap pemancangan itu sekaligus juga sebagai peringatan bagi masyarakat agar memelihara kebersihan di sekitar lokasi upacara.
Selanjutnya, disediakan kambing dan ayam jantan untuk persembahan. Kedua hewan itu telah ditambatkan atau dikurung di lokasi upacara sejak malam sebelumnya. Sebelum dipotong, hewan persembahan terlebih dulu dimandikan air bunga oleh pawang laut. Pagi hari setelah shalat Subuh, nazir dan pawang laut menyembelih serta memimpin penyembelihan kambing dan ayam jantan. Tempat penyembelihan dilakukan di atas sebuah lubang kecil yang digali untuk menampung darah. Proses ini adalah tahap bersatunya darah dengan tanah yang mengandung arti simbolik, yakni keeratan hubungan makhluk hidup, terutama manusia dengan lingkungan sekitarnya. Setelah disembelih, kambing dan ayam jantan dipotong-potong dan dipisahkan menjadi dua bagian. Bagian kepala, tulang, dan kulit dikemas untuk dipersembahkan kepada para penguasa laut. Sedangkan dagingnya dicincang halus dan dimasak untuk dimakan bersama-sama.
Saat matahari beranjak naik, upacara persembahan dimulai dan dipimpin oleh pawang laut bersama tokoh-tokoh agama dan pemuka masyarakat. Sambil memancangkan panji-panji dan bendera, pawang laut menghadap kiblat sejenak dan membaca mantera serta memercikkan air ramuan ke atas kain bendera dan tanah di tempat bambu itu dipancangkan. Selain itu, pawang laut juga menaburkan bunga dan kemudian meletakkan sesaji yang akan dipersembahkan untuk para penguasa laut. Oleh pawang, Ramuan Jamu Laut disebarkan ke arah delapan penjuru mata angin.
Prosesi yang berikutnya adalah mengarak Ramuan Jamu Laut di sepanjang 2 mil dari pantai, yakni di suatu tempat yang dipercaya masyarakat sebagai sempadan pangkal pusaran angin. Saat arak-arakan Ramuan Jamu Laut berhenti, semua peserta upacara berdiri menghadap kiblat. Selanjutnya seorang ustadz membaca shalawat dan diiringi suara adzan dalam suasana hening. Sehabis adzan dikumandangkan, giliran pawang laut merapal mantera dan dilanjutkan dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh ustadz. Kemudian seluruh peserta meninggalkan tempat upacara dengan pantangan tidak boleh melihat ke arah belakang.
Setelah ritual inti upacara Jamuan Laut usai dilaksanakan, kemudian dilanjutkan dengan penyampaian nasehat yang bersifat pengarahan dan bimbingan dari wakil pemerintah daerah. Di dalam kata-kata nasihat itu dinyatakan bahwa pihak pemerintah mendukung dan mengukuhkan upacara Jamuan Laut sebagai aktivitas masyarakat. Setelah itu, panitia mempersilahkan seluruh peserta untuk bersama-sama menyantap makanan yang telah tersedia. Seluruh peserta upacara dipastikan harus mendapat makan karena diyakini bahwa penyelenggaraan upacara Jamuan Laut tidak akan sempurna dan tidak akan sampai pada tujuannya apabila ada salah seorang peserta saja yang tidak/belum mendapat bagian makan bersama-sama. Terakahir, sesudah makan bersama-sama selesai, dilaksanakan doa yang dipimpin oleh ustadz, kemudian seluruh peserta upacara kembali ke rumah masing-masing.