Adat dan Istiadat yang terdapat di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebenarnya sangat banyak, namun yang akan dibahas di sini sebagai contoh adalah Upacara Pernikahan Agung Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada masa kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono X, upacara pernikahan akbar ini sudah dilangsungkan ketika putri sulung Sultan, GRAj Nurmalitasari (yang kemudian berganti nama menjadi GKR Pembayun), menikah dengan Nieko Mesa Yudha (yang kemudian bergelar KPH Wironegoro) pada bulan Mei 2002. Acara pernikahan tersebut diselenggarakan sesuai dengan adat dan ketentuan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang telah dipegang selama berabad-abad. Berikut penjelasan ringkas tentang prosesi pernikahan agung Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat:
Rangkaian inti pernikahan agung dimulai dengan ritual Nyantri, yakni prosesi menitipkan calon pengantin pria kepada keluarga pengantin perempuan sebelum hari pernikahan. Calon mempelai pria ditempatkan di rumah kerabat dekat keluarga Kesultanan. Upacara Nyantri bertujuan untuk melancarkan jalannya pernikahan sehingga ketika upacara dilangsungkan, calon mempelai pria sudah siap di tempat dan tidak merepotkan pihak keluarga mempelai perempuan. Nyantri dilakukan di beberapa lokasi di lingkungan keraton. Kedua mempelai sebelumnya dipisahkan sembari menunggu prosesi ritual adat yang harus dijalani. KPH Wironegoro, selaku calon pengantin pria, ditempatkan di Kagungan Dalem Gedhong Sri Katon, sementara calon pengantin perempuan, GRAj Nurmalitasari, berada di Kagungan Dalem Bangsal Sekar Kedathonan.
Acara selanjutnya adalah prosesi Majang yang berarti menghias rumah sang pemangku hajat, dalam hal ini adalah keluarga Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, termasuk menghias pasren (kamar pengantin). Selanjutnya adalah ritual Pasang Tarub di mana GKR Hemas (permaisuri Sultan Hamengku Buwono X), para gusti, dan para bendara memasang pajangan di emper Kagungan Dalem Bangsal Prabayeksa Kidul sebelah timur. Sedangkan para abdi dalem yang sudah ditentukan, memasang Tarub serta Tetuwuhan (bunga) di lingkungan Keputren. Prosesi Majang, Pasang Tarub, dan Tetuwuhan juga dilakukan di kompleks Kesatriyan dan Bangsal Kencana.
Ritual Siraman menjadi rangkaian acara berikutnya. Siraman dibedakan menjadi dua, yaitu Siraman Putri untuk calon pengantin perempuan dan Siraman Kakung untuk calon pengantin pria. Dalam acara Siraman Putri, yang diizinkan masuk hanyalah para gusti putri atau bendara putri. Acara Siraman Putri diakhiri dengan pengangkatan kendi yang berisi air dari tujuh mata air dengan taburan kembang melati oleh GKR Hemas sambil mengucapkan doa. Sesudah diangkat, kendi tersebut kemudian dipecah. Sedangkan Siraman Kakung dilaksanakan di Kagungan Dalem Gedhong Kompa oleh GKR Hemas diikuti para gusti dan para bendara putri, ibu mempelai pria, serta para istri abdi dalem pengulu. Setelah siraman, dilanjutkan upacara potong rambut dan ngerik.
Dalam ritual tantingan yang dilangsungkan di emper Kagungan Dalem Bangsal Prabayeksa pada malam harinya, Sultan Hamengku Buwono X selaku Raja sekaligus sebagai orangtua menanyakan kesediaan putrinya untuk dinikahkan. Setelah sang putri menyatakan kesediaannya, acara tantingan pun selesai. Rangkaian prosesi pada malam itu diakhiri dengan memeriksa kelengkapan administrasi oleh petugas Kantor Urusan Agama (KUA) dan dilanjutkan dengan ritual midodareni. Istilah midodareni berasal dari kata “widodari” atau “bidadari”. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, banyak bidadari yang turun dari kahyangan untuk memberikan doa restu kepada calon pengantin wanita, sehingga wajahnya cantik jelita seperti bidadari, sehingga pada malam midodareni ini calon pengantin tidak boleh tidur.
Keesokan paginya, tibalah saat untuk upacara Ijab Kabul yang bertempat di Kagungan Dalem Masjid Panepen. Dalam prosesi yang sangat penting ini, Sultan menikahkan sendiri GKR Pembayun dengan KPH Wironegoro. Namun, calon mempelai perempuan tidak turut masuk ke dalam masjid. Setelah itu, pengantin pria diantar oleh seorang abdi dalem menghadap seorang sentana dalem (petugas penerima) untuk menyerahkan syarat sanggan lampah panyuwuning pengantin (permintaan pengantin wanita) dan senggan tebusan pengantin (tebusan pernikahan) serta meminta izin untuk membawa pengantin wanita. Perangkat sanggan ini berupa hadiah pada waktu calon pengantin pria meminang calon istrinya. Setelah pengantin wanita diserahkan, abdi dalem Keparak dan abdi dalem Sahositi membuang kembar mayang di tempat yang telah ditentukan. Pembuangan kembar mayang ini melambangkan pemberitahuan kepada masyarakat luas bahwa telah terjadi perkawinan.
Pada saat yang bersamaan, dilangsungkan upacara Panggih di emper Kagungan Dalem Bangsal Kencana. Rangkaian upacara Panggih diawali dengan tarian Beksan Edan-edanan (tari gila-gilaan). Beberapa pasang penari memainkan tarian di sepanjang jalur yang akan dilalui oleh pasangan pengantin. Tarian ini dilakukan sebagai sarana untuk mengusir makhluk-makhluk gaib yang dapat mengganggu acara. Disebut Beksan edan-edanan karena penari bertingkah-polah seperti orang gila.
Masih dalam rangkaian upacara Panggih, ritual selanjutnya adalah Balangan Gantal (saling melempar sirih) antara kedua mempelai. Pengantin pria yang mendapat giliran melempar sirih terlebih dulu dengan mengarahkan lemparannya terutama pada dahi, baru kemudian dada dan lutut pengantin wanita. Arah lemparan di dahi adalah sebagai simbol harapan dari pengantin pria agar sang istri segera dapat mengembangkan diri dan menguatkan pikiran serta nalarnya. Hal ini disebabkan karena biasanya perempuan memiliki perasaan yang lebih peka dan kuat daripada pikiran atau logikanya. Sedangkan lemparan pengantin wanita diarahkan ke dada pengantin pria dengan harapan dapat membangkitkan perasaan kasih dan sayang di dalam sanubari sang suami. Lemparan sirih juga diarahkan ke arah lutut mempelai pria dengan maksud pengantin wanita mengharapkan pengayoman dari sang suami.
Rangkaian upacara panggih dilanjutkan dengan ritual Wijikan atau Ranupada (membasuh kaki). Prosesi ini dilakukan oleh mempelai perempuan dengan membasuh kaki mempelai laki-laki. Makna dari ritual Ranupada antara lain (1) sebagai tanda bakti istri kepada suami; (2) menghilangkan sukerta (rintangan) agar perjalanan menuju keluarga bahagia cepat tercapai; dan (3) semua langkah kaki (perbuatan) harus didasarkan pada cita-cita keharuman, yakni harum nama keluarga yang dapat dicontoh oleh sesama, dan oleh sebab itulah Ranupada menggunakan air kembang setaman yang semerbak wanginya.
Ritual lanjutan dalam upacara Panggih berikutnya adalah prosesi mecah tigan (memecah telur). Telur yang diletakkan di dalam bokor air diambil oleh orang yang telah diberi wewenang untuk disentuhkan pada larapan (dahi) kedua pengantin. Setelah itu, telur kemudian dibanting sampai pecah. Ritual memecah telur melambangkan bahwa pengantin pria sudah mempersiapkan diri berketurunan melalui seorang wanita yang telah menjadi istrinya. Dengan pecahnya telur tersebut, maka sejak saat itu status keduanya bukan lagi jejaka dan gadis. Telur, yang dijadikan sebagai simbol benih kehidupan, merupakan pengungkapan proses reproduksi.
Berikutnya adalah prosesi Pondhongan (menggendong). Ritual ini hanya dilakukan apabila pengantin wanita adalah putri Sultan yang sedang bertahta, dan mempelai pria berasal dari lingkungan yang derajat kebangsawanannya di bawah pengantin wanita, atau bukan berasal dari kalangan ningrat. Pondhongan dimulai dari emper Bangsal Kencana. Pengantin wanita duduk di atas kedua tangan pengantin pria yang dibantu oleh salah satu kerabat yang telah diberi wewenang. Kedua tangan mempelai pria bergandengan dengan tangan kerabat keraton dalam posisi berhadapan, dan pengantin pria berada di kiri pengantin wanita. Sementara itu, kedua tangan pengantin wanita merangkul bahu pengantin pria untuk tangan kirinya, dan tangan kanannya merangkul bahu dari kerabat keraton.
Dengan formasi itu, mereka mulai berjalan pelan dari emper sebelah timur yang semula telah digunakan untuk upacara wijikan, menuju ke arah emper utara. Setelah sampai di sudut Bangsal Kencana sisi utara, kemudian menuju Tratag Prabayeksa, dan kedua pengantin kemudian duduk di tempat yang sudah dipersiapkan. Upacara Pondhongan sebenarnya telah mengalami perubahan. Pada zaman Sultan Hamengku Buwono VIII, Pondhongan dimulai dari emper Bangsal Kencana sebelah timur sampai Kagungan Dalem Bangsal Kesatriyan. Jarak yang ditempuh sangat panjang karena harus melewati Kuncung Bangsal Kencana, kemudian melintasi Regol Gapura dan Regol Kasatriyan, serta masuk ke kompleks Kesatriyan. Namun, pada pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X, Pondhongan hanya dilakukan dari Tratag Bangsal Kencana menuju ke arah utara dan berhenti sampai di sudut Kagungan Dalem Bangsal Kencana. Jarak yang ditempuh hanya sekitar 15 meter dengan waktu kurang lebih 2 menit.
Upacara Tampa Kaya yang sering disebut juga dengan nama Kacar-Kucur atau Bebak-Kawak ini adalah upacara penerimaan barang-barang dari pengantin wanita yang berupa kacang tanah, kedelai, jagung, gabah, beras, bunga siraman, uang logam, dan dlingo-bengle. Upacara Tampa Kaya dilakukan di Senthong Tengah Kagungan Dalem Purworukmi di kompleks Kesatriyan. Pengantin pria duduk di kursi yang sudah disiapkan, sementara pengantin wanita duduk di bawah pengantin pria dengan alas tikar dan kain serta diapit oleh seorang juru rias dan seorang pemandu dari keraton yang duduk berhadapan dengan pengantin pria. Sebelumnya, pengantin wanita menyiapkan kain mori putih berukuran 25 x 25 cm yang dibentangkan di atas kedua tangan dengan dibantu dua orang yang sudah diberi wewenang. Selanjutnya, pengantin pria menuangkan Tampa Kaya ke atas mori tersebut, kemudian oleh pengantin wanita diberikan kepada kedua orang tua mempelai.
Upacara Tampa Kaya merupakan perlambang bahwa seorang suami tidak boleh bersifat picik, semua hasil jerih payahnya harus diserahkan kepada sang istri. Sebaliknya, seorang istri harus pandai mengatur ekonomi rumah tangga dan jangan sampai terjadi pemborosan. Dengan kata lain, suami harus bertanggungjawab mencari harta benda untuk hidup bersama. Sang istri harus menerimanya dengan senang hati serta bisa mengolah dan menyimpan harta pemberian suami dengan baik.
Sebagai acara terakhir adalah upacara Dhahar Klimah yang dilaksanakan di Dalem Kesatriyan. Sebelumnya telah disiapkan peralatan yang berupa dua buah piring kosong dan gelas air putih untuk minum, sepiring nasi kebuli warna kecoklatan dengan lauk-pauk yang telah dicampur ke dalam nasi tersebut, serta dua mangkok putih berisi air untuk mencuci tangan. Semua perlengkapan itu diletakkan di depan pasangan pengantin yang duduk lesehan. Upacara Dhahar Klimah dipandu oleh orang yang diberi wewenang dan disaksikan oleh para pengiring dan besan. Kedua pengantin duduk berdampingan dan para pengiring duduk di belakangnya.
Upacara Dhahar Klimah pun dimulai di mana pengantin pria mencuci tangan kanannya ke dalam mangkuk air, mengambil nasi yang dikepal-kepal menjadi tiga bulatan kecil. Tiga kepal nasi itu satu-persatu diletakkan di piring kosong dan diberikan kepada pengantin wanita untuk dimakan semua. Pengantin wanita juga melakukan hal yang sama. Setelah selesai, keduanya kemudian membersihkan tangan dengan air yang ada di mangkok. Upacara ini diakhiri dengan meminum air putih. Makna dari upacara Dhahar Klimah adalah bahwa seorang suami harus mempunyai keteguhan hati dan seorang istri harus dapat menyimpan rahasia. Makna lainnya adalah perpaduan antara dua hati dan satu kehendak, satu tekad yang bulat (dalam bahasa Jawa disebut nunggil kareb). Setelah Dhahar Klimah selesai, pasangan pengantin dan besan kembali ke Dalem Kesatriyan untuk beristirahat, sedangkan semua pengiring harus meninggalkan tempat tersebut.