Masjid Gedhe (Besar) Kesultanan Yogyakarta terletak di sebelah barat Alun-alun Utara (halaman depan istana). Masjid ini didirikan pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I pada akhir abad ke-18. Pembangunan masjid Kesultanan di areal seluas kurang lebih 13.000 m2 ini dilakukan setelah 16 tahun keraton berdiri. Masjid ini disebut juga Masjid Gedhe Kauman karena berada di daerah yang bernama Kauman, pusat para tokoh agama Islam di lingkungan Keraton Yogyakarta.
Pencetus pembangunan masjid adalah Kiai Pengulu Faqih Ibrahim Dipaningrat, penasehat agama Kerajaan. Sedangkan perancang arsitektur masjid adalah arsitek keraton bernama Tumenggung Wiryokusumo. Masjid Gedhe (Besar) Kesultanan Yogyakarta dikelilingi oleh dinding yang tinggi. Kompleks masjid terdiri dari bangunan induk dengan satu ruang inti sebagai tempat untuk shalat yang dilengkapi dengan mihrab (tempat imam memimpin shalat). Di samping kiri belakang mihrab terdapat maksura yang terbuat dari kayu jati dan berbentuk persegi, dengan lantai marmer yang lebih tinggi dan dilengkapi dengan tombak. Maksura adalah tempat khusus bagi Sultan ketika shalat berjamaah.
Serambi masjid berbentuk joglo persegi panjang terbuka. Lantai masjid induk dibuat lebih tinggi dari serambi masjid dan lantai serambi sendiri lebih tinggi dibandingkan dengan halaman masjid. Di sisi utara, timur, dan selatan serambi terdapat kolam kecil untuk mencuci kaki bagi yang hendak masuk masjid. Rancang bangun pada Masjid Gedhe (Besar) Kesultanan Yogyakarta memakai model atap tumpang tiga dengan mustoko (mahkota masjid). Mustoko dengan konsep tumpang tiga memiliki makna bahwa kesempurnaan hidup manusia dapat dicapai melalui tiga tahapan, yaitu hakekat, syari’at, dan ma’rifat.
Masjid Gedhe (Besar) Kesultanan Yogyakarta beberapa kali mengalami renovasi. Gempa bumi yang terjadi pada 1867, misalnya, mengakibatkan serambi masjid runtuh. Kemudian, dilakukan renovasi dengan memperbesar dan mempermegah serambi masjid dari bentuk awalnya. Selain itu, lantai dasar masjid yang dulunya terbuat dari batu kali diganti dengan marmer yang khusus didatangkan dari Italia. Masjid Besar milik keraton ini merupakan salah satu masjid tertua di Yogyakarta dan hingga sekarang masih berfungsi sebagai tempat beribadah, upacara keagamaan, pusat syiar agama Islam, dan tempat penegakan tata hukum agama di lingkungan Istana Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Istilah pathok negoro dapat dimaknai sebagai “batas wilayah negara”. Untuk menandai batas wilayah ibukota Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, maka dibangunlah empat masjid yang masing-masing ditempatkan di empat penjuru mata angin dengan Masjid Gedhe Kauman sebagai pusatnya. Formasi empat pathok Kiblat Papat Lima Pancer. Sebagaimana fungsinya sebagai penanda batas wilayah pusat Kerajaan, masjid-masjid pathok negoro terletak di luar ibukota, yakni antara 5-10 kilometer dari istana. Keempat masjid pathok negoro tersebut berlokasi di Mlangi (barat), Ploso Kuning (utara), Dongkelan (selatan), dan Babadan Wonokromo (timur). Keempat masjid pathok negoro masih ditambah kehadiran satu masjid lagi, berada di (Kecamatan Pleret, Bantul), yang pada hakikatnya adalah embrio digagasnya konsep pathok negoro. (batas) dan satu pusat ini dikenal sebagai
Keempat masjid pathok negoro dibangun pada kurun 1723-1819, ketika Sri Sultan Hamengku Buwono I bertahta. Sedangkan masjid yang berada di Wonokromo baru didirikan pada era Sultan Hamengku Buwono IV (1814-1823), meskipun gagasannya sudah dicetuskan sejak masa Sultan Hamengku Buwono I. Kedudukan masjid-masjid pathok negoro berada satu tingkat di bawah Masjid Besar Kesultanan di Kauman. Ini dapat dilihat dari kedudukan para imam (Kyai Pengulu) keempat masjid ini yang menjadi anggota badan peradilan agama Islam Kesultanan Yogyakarta yang disebut Al-Mahkamah Al-Kabirah, di mana imam besar Masjid Besar Kesultanan (Kanjeng Kyai Pengulu) bertindak sebagai ketua mahkamah. Corak arsitektur dan filosofi bagian-bagian masjid pathok negoro pun mengikuti Masjid Besar Kauman sebagai pusatnya. Selain sebagai tempat ibadah, masjid pathok negorotaklim, tempat pemerintahan dan peradilan, tempat pertahanan, serta tempat pelaksanaan upacara dan kegiatan keagamaan. juga digunakan sebagai pusat belajar agama, majelis
Masjid pathok negoro yang pertama adalah Masjid Jami’ An-Nur di Mlangi yang menjadi penanda batas wilayah ibukota Kesultanan Yogyakarta di bagian barat. Masjid ini berlokasi di Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Konstruksi Masjid Mlangi pernah mengalami renovasi, salah satunya yang dilakukan pada tahun 1985 di mana bangunan masjid ditingkatkan menjadi dua lantai. Perubahan ini telah disetujui oleh pihak keraton yang memberikan izin dengan syarat tidak mengubah bentuk aslinya. Di sisi barat, utara, dan timur laut masjid terdapat makam keluarga keraton, antara lain makam Pangeran Bei, Pangeran Sedo Kedaton, dan makam keluarga Pangeran Prabuningrat.
Batas sebelah utara adalah Masjid Jami’ Sulthoni Plosokuning di Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman. Plosokuning diambil dari nama pohon ploso yang berdaun kuning. Daerah di sekitar masjid ini dikenal dengan nama Mutihan atau “tempat tinggal kaum putih (santri)”. Masjid ini mengalami beberapa kali renovasi. Plester lantai diganti dengan semen merah, dan pada 1976 sudah memakai ubin. Renovasi pada 1984 mencakup penambahan pintu dan jendela. Renovasi pada tahun 2000 meliputi perbaikan pada empat tiang utama dan sejumlah elemen masjid lainnya. Tahun 2001, giliran serambi, tempat wudhu, dan lantai (diganti keramik), yang ditinggikan. Di tahun yang sama dilakukan juga perbaikan halaman masjid dan menara pengeras suara. Pada waktu tertentu, di masjid ini dilaksanakan kegiatan keagamaan yang diikuti oleh keluarga keraton.
Masjid pathok negoro sebelah timur, yakni di Babadan, Banguntapan, Kabupaten Bantul, pernah menjadi korban ambisi tentara Jepang. Tahun 1943, Babadan dikosongkan paksa untuk perluasan pangkalan udara Jepang. Rakyat Babadan terpaksa hijrah ke tempat yang kemudian diberi nama Babadan Baru di Kentungan, Depok, Kabupaten Sleman. Peran masjid lama yang dibangun sejak 1774 sebagai masjid keraton pun tidak berfungsi dalam waktu lama. Tahun 1964, pembangunan kembali masjid di Babadan lama dilakukan dan didukung oleh Sultan Hamengku Buwono IX. Nama muda Sultan Sultan Hamengku Buwono IX, Dorodjatun, diabadikan sebagai nama masjid, yakni Masjid Ad-Darojat. Serambi tengah dibangun pada 1988, dan pada 1992 bangunan induk utama dibongkar untuk disesuaikan seperti bentuk semula. Pembangunan ruang utama masjid selesai dilakukan pada tahun 1993, yakni berupa joglo dengan empat soko guru.
Pathok negoro di bagian selatan adalah Masjid Nurul Huda Dongkelan yang terletak di Desa Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul. Masjid yang dibangun pada tahun 1775 ini pernah berfungsi sebagai benteng pertahanan dan sempat dibakar Belanda saat berlangsungnya Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830). Setelah perang berakhir, bagian inti dari masjid ini dibangun kembali. Pemugaran berikutnya dilakukan tahun 1901, namun pada waktu itu masjid ini belum memiliki serambi. Serambi masjid baru dibangun pada tahun 1948, namun renovasi ini tidak banyak mengubah bentuk inti masjid. Sejak tahun 1950, masjid ini tidak lagi digunakan sebagai basis pertahanan keraton dan dikembalikan fungsinya sebagai tempat ibadah, memperdalam ilmu agama, serta untuk melangsungkan kegiatan-kegiatan agama.
Terakhir adalah masjid yang berlokasi di Wonokromo, Pleret, Bantul. Jika ditelisik dari sejarahnya, dari sinilah konsep masjid pathok negoro berasal. Kyai Mohammad Fakih merupakan ulama yang mula-mula mencetuskan ide ini kepada Sultan Hamengku Buwono I. Kyai Fakih menyarankan agar Sultan melantik orang-orang yang dapat menuntun akhlak, yang kemudian diberi tanah perdikan (dibebaskan dari pajak) dan di masing-masing tanah itu didirikan masjid sebagai penanda pathok negoro. Maka, dibangunlah masjid di tempat Kyai Fakih bermukim, yakni di Wonokromo yang terletak di tepi muara Sungai Opak dan Sungai Oya. Masjid sederhana itu diberi nama Wa Ana Karoma yang maksudnya “supaya benar-benar mulia”. Nama masjid ini kemudian diganti menjadi Masjid Taqwa. Bentuk bangunan asli masjid ini bertahan sampai tahun 1867 di mana ada sedikit perubahan pada atap dan dindingnya. Perombakan untuk memperluas kompleks masjid dilakukan beberapa kali, yakni pada tahun 1913, 1958, 1976, 1986, dan 2003. Pada masa revolusi fisik, masjid ini berfungsi sebagai basis pertahanan tentara RI bersama masyarakat untuk melawan agresi Belanda.
Selain masjid pathok negoro, masih terdapat masjid-masjid yang terkait dengan tata pemerintahan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Masjid-masjid yang dinamakan Masjid Kagungan Dalem (masjid kepunyaan Raja) tersebut, antara lain Masjid Nitikan, Masjid Kuncen, Masjid Rejodani, Masjid Tawangsari, Masjid Wotgaleh, Masjid Kepatihan, Masjid Lempuyangan, Masjid Blunyah, Masjid Keris, Masjid Karangkajen, bahkan masjid-masjid di daerah Ringinsari, Gentan, Demak Ijo, Klegum, Godean, Jumeneng, dan lain-lain. Semua pengelola masjid ini, termasuk masjid pathok negoro, diangkat menjadi abdi dalem dan memperoleh gaji dari keraton. Lokasi masjid-masjid ini pada awalnya merupakan daerah Mutihan milik keraton yang kemudian dimerdekakan (dibebaskan dari pajak). Di daerah sekitar masjid biasanya terdapat pesantren sebagai pusat pendidikan agama Islam.
Lihat Juga Galeri Foto: Tempat Ibadah