Oleh: Mona Kriesdinar
Kontribusi Trah Kadipaten Pakualaman banyak yang tidak terdengar. Padahal, keturunannya banyak memberikan sumbangan pemikiran dan perjuangan baik itu dalam bidang politik, pendidikan, sosial maupun budaya. Satu hal yang menjadi perhatian Sudibyo, dari Fakultas Ilmu Budaya UGM yang menjadi seorang pembicara di Sarasehan Hadeging Projo Kadipaten Puro Pakualaman, ia lebih tertarik untuk memaparkan peran dua orang tokoh besar yang jarang dikisahkan. Mereka adalah Soewardi Soerjaningrat yang lebih dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara dan Noto Soeroto.
“Meskipun dikisahkan, namun lebih banyak dalam konteks beliau sebagai Ki Hadjar Dewantara. Dalam kesempatan ini, saya sengaja mengambil keduanya lantaran saat itu merupakan saat di mana Paku Alam V bertahta dan bisa menjadi contoh masa keemasan dalam pengembangan pendidikan bagi kerabat Pura Pakualaman,” paparnya.
Berdasarkan pemaparannya, kedua tokoh ini memiliki hubungan kekerabatan cukup dekat terutama dari garis keturunan ibu. Dari garis ayah, Noto Soeroto merupakan paman Soewardi karena ayah Noto Soeroto adalah putra Paku Alam V. Adapun Paku Alam yang pada masa mudanya bernama B.R.M Notowilijo merupakan putera ke-14 dari Paku Alam II yang lahir dari garwa ampeyan. Sementara itu, Soewardi merupakan cucu Paku Alam III yang merupakan putera ke-4 Paku Alam II. Demikian halnya dari garis ibu. Noto Soeroto lahir dari rahim B.R.A Noto Dirodjo yang merupakan adik perempuan KPH Soerjaningrat yang tak lain merupakan ayah dari Soewardi dan putra Paku Alam II. Dengan demikian, Soewardi adalah kakak sepupu Noto Soeroto.
Keduanya sama-sama berasal dari keluarga besar yang sama dan memeroleh pengajaran kebudayaan Jawa sebelum mereka memeroleh pendidikan modern yang saat itu berlangsung di Belanda. Pendidikan tradisional yang diajarkan di lingkungan Pakualaman berlangsung melalui seni tari, karawitan, dan kesusastraan yang kesemuanya bertujuan untuk memperhalus budi pekerti kerabat Pakualaman.
Konsep estetika sestradi yang merupakan pencapaian artistik tertinggi pujangga Pakualaman yang tercantum dalam sejumlah hasil kesusastraan, semisal Sesrat Sestradisuhul, Sestra Ageng Ajidarma, dan Serat Rama telah menjadi landasan filosofis kerabat Pakualaman. Selain itu, keduanya juga memperkaya pengetahuan dari karya sastra lainnya, semisal Serat Baratayuda, Kyai Jati Pusaka, Sastra Gending, dan lain-lain. Oleh karena itu, pengajaran tradisional inilah yang mengiringi perkembangan dan sepak terjang keduanya yang tampak dalam pandangan mereka terhadap pelbagai persoalan baik itu sosial, politik maupun budaya yang dapat dirunut melalui kesusastraan mereka.
Menurut Sudibyo, Soewardi dikenal sebagai seorang jurnalis yang lugas, tegas, dan radikal. Ia bergabung bersama Komite Boemipoetra bersama dengan Tjipto Mangoen Koesoemo dan Douwes Dekker. Ketiganya sempat menunjukan perannya dengan mengirimkan surat kepada Ratu Wilhelmina untuk menuntut pencabutan larangan rapat dan perkumpulan yang berbau politik.
Selain itu, Soewardi juga berhasil menulis artikel yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was yang dijadikan pamflet dengan tiras 5.000 eksemplar. Media inilah yang kemudian dijadikan patokan bagi Belanda untuk menuduh mereka melakukan pelanggaran Undang-Undang Pers dan bertindak makar yang kemudian mengantarnya ke tempat pengasingan. Setelah menerima alternatif tempat pengasingan, ketiganya memilih Belanda sebagai tempatnya. Namun di tempat ini, Soewardi justru semakin mengasah kemampuan jurnalistiknya sehingga melahirkan berbagai macam artikel yang menunjukan garis perjuangannya dan harapannya bahwa bangsa Hindia Belanda merupakan bangsa yang memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri.
Adapun Noto Soeroto yang sudah sejak 1906 berada di Belanda juga aktif di bidang politik, jurnalistik dan sastra. Dalam bidang politik, pandangan-pandangannya bertentangan dengan pandangan sebagian mahasiswa Hindia Belanda yang ada di Belanda. Ia menginginkan pemerintahan yang dijalankan bersama dengan bimbingan Belanda, sedangkan mayoritas mahasiswa menginginkan pemerintahan yang berdaulat dan lepas dari campur tangan Belanda.
Ia pun diketahui gagal dalam urusan mewujudkan cita-cita politisnya. Namun, ia justru memiliki catatan gemilang dalam bidang jurnalistik. Ia tercatat sebagai kolumnis dan beberapa kali menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah dan surat kabar. Ia juga dikenal sebagai sastrawan yang memeroleh apresiasi dari masyarakat di Belanda.
Sehubungan dengan pandangan politik Noto Soeroto yang berseberangan, ia pun merasa dikucilkan oleh tiga serangkai Soewardi, Tjipto, dan Douwes Dekker. Di tengah perasaan terasingnya, Noto tak henti-hentinya menawarkan gagasan politik yang ia sebut sebagai Aristo-Demokratis. Gagasan itu ternyata semakin mengucilkan posisinya di kalangan teman-teman seperjuangannya. Wajar saja, sebagian besar mahasiswa saat itu berhaluan radikal lantaran kerap memeroleh perlakukan buruk dari Belanda.
Hingga pada akhirnya pada tanggal 30 November 1931, ia memutuskan untuk berbuat sesuatu bagi Indonesia. Ia sendiri mengaku bahwa misinya di Belanda sudah selesai, lebih dari itu dia sendiri merasa putus asa dan sunyi dalam kesendirian.
Sekembalinya ke Indonesia, Noto lebih memilih tinggal di kompleks Istana Mangkunegaran, Surakarta. Di sana ia aktif mengambangkan Mangkunegorosche Studiekring atau lingkaran studi Mangkunegara yang bergerak dalam studi filsafat. Meskipun demikian, perlahan diskusi-diskusi yang terselanggara menyerempat ke masalah politik. Akibatnya, ia makin berada dalam posisi yang sulit. Bahkan menurut Sudibyo, ia mengalami saat-saat terberat dalam hidupnya dan enggan tampil di depan publik.
Hingga akhir hayatnya, Noto Soeroto, tetap teguh dalam pendiriannya. Baginya, yang paling penting adalah pengangkatan martabat rakyat Jawa. Ia lebih mementingkan kesejahteraan rakyat dan bukan status Hindia. Baginya, apalah artinya kemerdekaan jika tidak bisa membebaskan rakyat dan tidak bisa mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan keterbelakangan.
Dalam sebuah suratnya kepada Ben van Eysselsteijn tanggal 3 Maret 1951, ia mengakui bahwa politik Eropa itu buruk dan kolonialismenya patut dibenci. Hal ini sejalan dengan pandangan Soewardi bahwa kolonialisme merupakan tindakan yang patut dibenci dan dilawan karena memiskinkan, membodohkan, dan telah menjadikan Indonesia sebagai lahan untuk memakmurkan negeri penjajah.
Melalui penjabaran itu, Sudibyo ingin menjelaskan bahwa posisi Pakualaman sebagai tempat persemaian dan pembenihan para intelektual berbagai disiplin ilmu dapat dijadikan cermin sebagai rujukan keberhasilan proses pendidikan, baik itu pendidikan keluarga maupun masyarakat. Pakualaman dinilai berhasil dalam memadukan pendidikan karakter berbasis kebudayaan Jawa dengan pendidikan modern.
Sementara itu, hal yang lebih umum, dijelaskan Sutaryo selaku Guru Besar UGM. Menurut dia, Pakualaman sejak dulu hingga sekarang telah berperan hampir di berbagai bidang kehidupan, meliputi pendidikan, dan hampir di seluruh aspek kebudayaan dan kesenian dengan lahirnya Ki Hadjar Dewantara, Wreksodiningrat, Hardjono, Djoko Sujanto. Pun demikian halnya dengan bidang pergerakan nasional yang melahirkan sederet nama besar, semisal yang berperan dalam Budi Oetomo. Sedangkan bidang lainnya yang tak kalah pentingnya, semisal dalam bidang pemerintahan, perjuangan kemerdekaan, sistem surjan yang menjadi sebuah teknologi tepat guna serta kini menjadi institusi yang masih eksis dengan ciri khasnya dalam bidang kesusastraan, kesenian yang indah, ilmu politik, dan administrasi negara.
Sumber: http://jogja.tribunnews.com
Sumber foto: http://gatholotjo.wordpress.com