English Version | Bahasa Indonesia

1. Sejarah

Kadipaten Pakualaman adalah wilayah otonom (Pangeran Merdiko) yang pada awalnya berada di wilayah kekuasaan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Notokusumo, putera Sri Sultan Hamengku Buwono I (Sri Sultan HB I) adalah Paku Alam I yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I (KGPA PA I).

1. Aturan Baru Bagi Priyayi Masa Daendels

Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels berkuasa di Hindia Belanda antara 1808-1811. Daendels merupakan kepanjangan tangan dari Pemerintahan Perancis yang kala itu menjajah dan menguasai Belanda. Atas perintah Lodewijk Napoleon, adik Napoleon Bonaparte yang berkuasa di Prancis, maka dikirimlah Daendels untuk mengurus tanah jajahan di Hindia Belanda.

Daendels tiba di Batavia pada 5 Januari 1808. Dia menggantikan Gubernur Jenderal sebelumnya, Albertus Wiese. Selain tugas utama untuk mempertahankan Hindia Belanda dari serbuan armada Inggris, Daendels juga mengatur tentang pemerintahan, terutama pemerintahan tradisional (kerajaan/kesultanan/kasunanan) di Jawa.

Para pemimpin tradisional (raja, sultan, dan sunan) diwajibkan mengikuti aturan, pertama, para pemimpin tradisional tidak lagi melakukan hubungan ke atas melalui Gubernur atau Direktur Jawa Utara yang berkedudukan di Semarang, melainkan langsung kepada Gubernur Jenderal. Kedua, para residen mendapatkan perlakuan yang khusus, yaitu dalam setiap upacara-upacara resmi kerajaan/kesultanan, mereka harus mengenakan songsong gilap (payung mas) dan tetap mempergunakan topinya.

Aturan penggunaan songsong gilap pada dasarnya hanya dipergunakan oleh Sultan/Sunan Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat, sehingga jika residen juga mempergunakan songsong gilap berarti mereka memiliki kedudukan yang setara dengan sunan/sultan. Hal inilah yang ditentang keras oleh Sri Sultan HB II dari Ngayogyakarta Hadiningrat, kemudian diikuti oleh Susuhunan Paku Buwono IV (PB IV) dari Surakarta Hadiningrat.

Hubungan Daendels dengan penguasa Mataram (Yogyakarta dan Surakarta) mulai retak. Di Surakarta, konflik antara Deandels dengan PB IV dapat diredam oleh J.A. van Braam, Residen Surakarta. Namun, konflik dengan Sri Sultan HB II tetap berlangsung dan semakin meruncing ketika Patih Danurejo II selaku kepanjangan tangan Daendels mulai melancarkan intrik untuk menyingkirkan Sri Sultan HB II, Pangeran Notokusumo (saudara kandung Sri Sultan HB II dari lain ibu), dan Pangeran Notodiningrat (menantu Sri Sultan HB II sekaligus putera Pangeran Notokusumo).

Intrik Patih Danurejo II berhasil, Pangeran Notokusumo dan Pangeran Notodiningrat dihukum buang ke Batavia, kemudian Surabaya. Pangeran Notokusumo dituduh ingin menggantikan kedudukan Pangeran Adipati Anom selaku pewaris tahta Kesultanan Ngayogyakarta Hadinigrat, sedangkan Pangeran Notodiningrat dituduh ingin menggantikan Pepatih Dalem yang saat itu dijabat Patih Danurejo II. Di sisi lain, keduanya juga dituduh turut campur dalam pertikaian antara Raden Rangga Prawirodirjo, menantu Sri Sultan HB II sekaligus Bupati Madiun dengan daerah-daerah di wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat, seperti pembakaran Desa Ngebel dan Sekadok di Ponorogo. 

Di sisi lain, Sri Sultan HB II dipaksa turun tahta dengan alasan percobaan kudeta terhadap kedaulatan Daendels. Kedudukan Sri Sultan HB II digantikan oleh Pangeran Adipati Anom yang naik tahta pada 13 Desember 1810 dan bergelar Sri Sultan HB III, sedangkan Sri Sultan HB II masih diperkenankan tinggal di Keraton dengan status Sultan Sepuh. Konflik antara Sri Sultan HB II dengan penguasa Hindia Belanda tetap tidak berakhir meskipun Daendels tidak lagi menjabat karena digantikan oleh Gubernur Jenderal Jassens pada 1811.

2. Perubahan Kekuasaan Masa Raffles

Pada 18 September 1811, kekuasaan Perancis berakhir ketika Jassens menyerahkan Hindia Belanda, terutama Jawa kepada Inggris melalui sebuah perjanjian yang dikenal dengan nama Rekapitulasi Tuntang. Sejak saat itulah, status Hindia Belanda berada di bawah Pemerintahan Inggris yang kemudian mengirimkan wakilnya bernama Sir Thomas Stamford Bingley Raffles.

Raffles berusaha merangkul penguasa lokal untuk menjamin kedudukan dan kedaulatannya selaku penguasa Hindia Belanda. Salah satu hal yang dilakukan Raffles adalah mengirimkan Kapten Robinson ke Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat untuk mengembalikan kedudukan Sultan Sepuh sebagai Sri Sultan HB II.

Sultan HB II yang kembali bertahta menuntut ganti rugi kepada Inggris karena selama masa penaklukkan, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat banyak memberikan bantuan kepada Jessens yang berusaha mempertahankan kedudukannya sebagai penguasa di Hindia Belanda. Sultan HB II menuntut 3 hal, yaitu: (1) Pembayaran ganti rugi (2) Penyerahan makam-makam leluhur, artinya penyerahan sebagian besar wilayah Jawa bagian utara ke dalam kekuasaan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan (3) Pangeran Notokusumo dan Notodiningrat yang dibuang ketika masa Pemerintahan Daendels dikembalikan ke keraton.

Raffles menyetujui beberapa tuntutan Sultan HB II sehingga dibuatlah kontrak politik pada 28 Desember 1811. Kontrak tersebut memuat 12 pasal, antara lain: Sultan HB II memelihara hubungan yang baik dengan Inggris, Sultan HB II setuju untuk membubarkan pasukan prajuritnya, Pemerintah Inggris menyerahkan kembali daerah-daerah kepada Sultan HB II yang dulu direbut oleh Daendels kecuali daerah Grobogan diserahkan kepada Pangeran Notokusumo, dan Sultan HB II tetap tunduk pada peraturan yang telah dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda terhadap raja-raja terdahulu.

Pangeran Notokusumo dan Pangeran Notodingrat akhirnya dikembalikan ke keraton, bahkan diberi wilayah Grobogan. Pemberian wilayah ini memuat maksud, pertama, agar Pangeran Notokusumo dekat dengan Raffles sebagai orang kepercayaan. Kedua, Pangeran Notokusumo adalah mediator yang tepat dalam hubungan antara Sultan HB II dengan Raffles mengingat Sultan HB II pernah menentang kepemimpinan Daendels.

Kedudukan Pangeran Notokusumo menjadikannya sebagai “anak emas” Raffles. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh Pangeran Adipati Anom yang kini merasa terancam karena pernah menjadi bagian dari penggulingan tahta Sultan HB II masa Pemerintahan Daendels. Pangeran Adipati Anom kala itu masih diperkenankan tinggal di keraton, karena statusnya sebagai putera Sultan HB II. Pihak-pihak yang dirangkul oleh Pangeran Adipati Anom adalah Pangeran Notokusumo, “anak emas” Raffles; Babah Djiem Sing atau Secadiningrat, peranakan Tionghoa yang memiliki pengaruh cukup besar di Yogyakarta dan memiliki koneksi kuat dengan Residen Crawfurd; dan Residen Crawfurd selaku kepanjangan tangan dari Raffles.

Pendekatan Pangeran Adipati Anom terhadap Babah Djiem Sing dan Crawfurd cukup berhasil. Kedua orang ini berkesimpulan, pertama, bahwa kedudukan Pangeran Adipati Anom sangat penting untuk menjamin dinamisme jalannya pemerintahan di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Di lain pihak, kedudukan Pangeran Notokusumo juga harus ditetapkan sebagai seseorang yang memiliki daerah otonom untuk menjamin keberlangsungan tahta Pangeran Adipati Anom.

Alasan kedua adalah persoalan Kontrak Politik 28 Desember 1811 yang menurut Crawfurd dan Babah Djiem Sing telah dilanggar oleh Sultan HB II. Pelanggaran tersebut terletak pada pembentukan militer (prajurit) yang sewaktu-waktu dapat mengancam kedudukan Inggris di Hindia Belanda. Hal inilah yang menjadi alasan kuat bagi Crawfurd untuk melaporkan ke Raffles.

Raffles menanggapi laporan dari Crawfurd dengan mengirimkan sebuah surat tentang perpindahan kekuasaan dari Sultan HB II kepada Pangeran Adipati Anom. Di sisi lain, Pangeran Notokusumo dipersilakan memilih sebuah daerah untuk dijadikan wilayah kekuasaan sebagai daerah otonom (Pangeran Merdiko). Raffles menyampaikan surat kepada Sultan HB II dengan diiringi ancaman, bahwa apabila Sultan HB II tidak mentaati isi surat tersebut, maka Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat akan diserang oleh Raffles.

Sultan HB II menentang isi surat dari Raffles sehingga pecahlah Geger Sepoy atau Geger Spei pada 1812. Kata “Sepoy” atau “Spei” merujuk pada pasukan dari Hindustan yang disewa oleh Raffles untuk menaklukkan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada 20 Juni 1812, Raffles berhasil menguasai Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Rafles kemudian menangkap dan membuang Sultan HB II ke Pulau Penang. Pembuangan Sultan HB II secara otomatis menjadikan Pangeran Adipati Anom naik tahta sebagai Sri Sultan HB III pada 28 Juni 1812.

Usai perang, Pangeran Notokusumo diperkenankan untuk memimpin sebuah daerah otonom yang memiliki tentara sendiri, namun berkedudukan di bawah Sri Sultan. Wilayah yang dipilih Pangeran Notokusumo berada di sebelah timur Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Wilayah ini dikenal dengan nama Kadipaten Pakualaman. Pangeran Notokusumo bertahta sebagai penguasa Kadipaten Pakualaman dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I (KGPA PA I) pada 29 Juni 1812. Di sisi lain, Pangeran Notodiningrat ditetapkan sebagai Putera Mahkota dengan nama Pangeran Suryaningrat.  

3. Kadipaten Pakualaman Dari Masa ke Masa

Kala Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I (KGPA PA I) bertahta, Raffles mengubah kebijakan sehubungan dengan wilayah kekuasaan PA I. Daerah Grobogan yang semula diberikan pada Pangeran Notokusumo kini diminta kembali dan sebagai gantinya PA I mendapatkan sebuah wilayah di sebelah timur Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kabupaten Adikarto.

Secara de jure, Kadipaten Pakualaman diakui berdiri ketika ditandatangani kontrak politik antara PA I dengan Residen Crawfurd pada 17 Maret 1813. Namun, secara de facto, Kadipaten Pakualaman telah ada sejak PA I bertahta pada 29 Juni 1812. Berdasarkan kontrak politik yang sah secara de jure tersebut, kini kita mengenal bahwa Kadipaten Pakualaman mulai berdiri sejak 17 Maret 1813.

Kontrak Politik 17 Maret 1813 terdiri dari 9 pasal yang antara lain berisi: Inggris memberikan perlindungan kepada PA I; PA I akan mendapatkan tanah milik Sultan seluas 4.000 cacah dan tunjangan seumur hidup sebesar 750 real (satuan uang dari Spanyol yang digunakan pula oleh Portugis) dan jika telah mangkat maka akan beralih kepada Pangeran Notodiningrat; dan Kadipaten Pakualaman diperkenankan memiliki korps bersenjata sebanyak 100 orang untuk kepentingan Inggris.   

Kala Paku Alam I bertahta terjadi peralihan kekuasaan dari Inggris ke Belanda pada 19 Agustus 1816. Kerajaan Belanda mengirimkan wakilnya, Godert Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen untuk duduk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Peralihan kekuasaan tersebut tidak mengubah semua ketentuan, aturan, dan kontrak politik yang telah disepakati antara Inggris dengan Pakualaman, meskipun kini Belanda yang berkuasa. 

Paku Alam I mangkat pada 4 Oktober 1829. Beliau digantikan oleh Pangeran Suryaningrat yang dinobatkan pada 4 Januari 1830 sebagai KGPA PA II (PA II). Pada 19 Februari 1831, PA II menandatangi kontrak politik dengan Belanda yang diwakili oleh Residen Yogyakarta, Frans Gerardus Valck. Kontrak politik tersebut secara garis besar berisi jaminan, syarat-syarat, serta pengelolaan tanah yang dulu telah diberikan oleh Raffles pada masa PA I.

Masa PA II disebut sebagai kristalisasi dan pengembangan nilai-nilai seni dan sastra tanpa meninggalkan tradisi masa lalu. Contoh konkret dari perkembangan tersebut adalah perkembangan seni gamelan dan tari, misalnya “Sekar Ageng”. Keberhasilan tersebut bahkan membuat Sri Sultan HB V kala itu mengirimkan para abdi dalemnya untuk mempelajari “Sekar Ageng” di Pakualaman. Lewat kiprah beliau inilah, Ki Hajar menyatakan bahwa PA II adalah pemimpin yang meletakkan dasar-dasar tradisi kebudayaan di Kadipaten Pakualaman.

Ki Hajar Dewantara, cucu PA III menulis tentang masa pemerintahan PA II di Kadipaten Pakualaman bertajuk “Beoefening van Letteren en Kunsten in het Pakualamsche Geslacht” (Praktek Sastra dan Seni di Pakualaman) yang dilampirkan dalam “Gedenkschrift 25 jarig bestuurjubileum ZH Paku Alam VII”. Ki Hajar menilai bahwa PA II terlihat lebih menahan diri dengan tidak turut campur dalam urusan politik, termasuk ketika berlangsung Perang Jawa (1825-1830). PA II justru memilih untuk membangun fondasi kebudayaan dan kesenian, khususnya kesusastraan Jawa di lingkungan Kadipaten Pakualaman. Singkat kata, Ki Hajar menilai bahwa PA II pertama-tama adalah seniman kemudian sastrawan.

Ketika PA II mangkat pada 23 Juli 1858, pengganti kedudukan sebagai pemimpin Kadipaten Pakualaman adalah putera bungsunya, Pangeran Sasraningrat. Hal ini terjadi karena Pangeran Suryaputra (putera sulung) meninggal sebelum naik tahta, Pangeran Suryaningrat (putera kedua) agak terganggu ingatannya, dan Pangeran Nataningprang (putera ketiga) juga meninggal. Pada 29 Desember 1858, Pangeran Sasraningrat dinobatkan sebagai KGPA Surya Sasraningrat (PA III). Beliau belum diberi gelar Paku Alam karena belum mencapai usia 40 tahun atau 5 windu (1 windu=8 tahun) ketika naik tahta.   

PA III dikenal sangat gemar dengan kesusastraan dan kesenian. Beliau menulis Serat Piwulang, Serat Ambiyo Yusup, dan Serat Darmo Wirayat. Tulisan yang disebutkan terakhir tersebut diterbitkan dalam bentuk buku setelah PA III meninggal. Buku ini berisi ajaran moral yang memantik minat masyarakat luas untuk belajar kesusastraan Jawa. Bahkan, buku yang diterbitkan di Batavia pada 1882 oleh Lands Depot van Leermiddelen ini dipergunakan sebagai buku ajar di sekolah-sekolah.

Ketika PA III wafat pada 17 Oktober 1864, tahta Kadipaten Pakualaman diserahkan kepada Raden Mas Nataningrat (RM Nataningrat), putera sulung Pangeran Nataningprang. Hal ini terjadi karena putera sulung PA III dalam keadaan buta sehingga tidak memungkinkan mengampu tahta, sedangkan putera lainnya masih kecil. Dalam usia 24 tahun, RM Nataningrat naik tahta pada 1 Desember 1864 dengan gelar KGPA Surya Sasranigrat (PA IV).   

Di era PA IV, Kadipaten Pakualaman mengeluarkan kebijakan untuk mengirim abdi dalem ke Kweekschool (sekolah guru) di Surakarta dan Voedvrouw (sekolah bidan) di Batavia. PA IV mengambil kebijakan untuk memberikan bekal pendidikan dan pengetahuan bagi masa depan trah Pakualaman. Setelah lulus, abdi dalem tersebut ditugaskan untuk membuka sekolah bagi trah Pakualaman. Sedangkan abdi dalem yang bersekolah menjadi bidan ditugaskan untuk memberi pertolongan jika ada trah Pakualaman yang melahirkan.

Pada 24 September 1878, PA IV mangkat dengan meninggalkan 2 orang putera yang masih kecil dan berasal dari garwa klangenan (selir) sehingga tidak bisa naik tahta. Oleh karena itu, tahta Kadipaten Pakualaman diampu oleh putera PA II, yaitu Pangeran Suryadilaga yang naik tahta pada 10 Oktober 1878.

Ketika PA V memerintah, gelar “Aryo” ditambahkan dalam gelar pemimpin Kadipaten Pakualaman, sehingga Pangeran Suryadilaga bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam V (KGPAA PA V). Mulai PA V hingga PA selanjutnya, gelar “Aryo” ditambahkan dalam nama gelar Paku Alam.

Pemeritahan PA V merupakan masa perubahan yang sangat fundamental di Kadipaten Pakualaman. PA V membuka jalan keterbukaan di dunia pendidikan dan pengetahuan. Beliau merupakan seorang visioner karena melakukan modernisasi sosial, khususnya dalam pendidikan modern. PA V menyekolahkan putra-puterinya ke Magelang, Semarang, Batavia, Belanda, bahkan keliling Eropa. Beberapa putera-puteri yang menerima pendidikan modern adalah Pangeran Notokusumo (putera sulung), RM Ario Notoatmojo, Pangeran Notodirjo, Pangeran Kusumoyudho, R Ayu Ario Adipati Purbohadikusumo, R Ayu Tumenggung Notosubroto, dan R Ajeng Maryam.

Buah pikir PA V ini akhirnya menuai hasil, trah Pakualaman menjadi tulang punggung perjuangan pergerakan ketika bangsa Indonesia berusaha mencapai kemerdekaannya. RM Soerjopranoto mengorganisir kaum buruh lewat Personeel Fabrieks Bond (PFB) dan berjuang lewat Sarekat Islam (SI) untuk melawan. Ki Hajar Dewantara berjuang melalui Komite Bumiputera, Indische Partij, dan Perguruan Tamansiswa. Pangeran Kusumoyudho menjadi anggota Raad van Indie dan Volksraad (Dewan Rakyat). Sedangkan R Ajeng Maryam dikenal dengan kemampuannya menguasai berbagai bahasa asing dan diterima oleh berbagai pemimpin dunia, seperti Ratu Wilhelmina dan Ratu Emma dari Belanda, Raja George V dan Ratu Mary dari Inggris.

PA V mangkat pada 6 November 1900 setelah 22 tahun memimpin Kadipaten Pakualaman. Jika PA I-IV dimakamkan di Pemakaman Imogiri, maka PA V dimakamkan di Pemakaman Girigondo, Kabupaten Kulon Progo. Mulai PA V dan seterusnya, setiap Kepala Kadipaten Pakualaman yang mangkat akan dimakamkan di Girigondo.

Pangeran Notokusumo, putera sulung PA V naik tahta pada 11 April 1901 sebagai KGPAA PA VI (PA VI). Namun, pemerintahan PA VI tidak berumur panjang karena pada 9 Juni 1902, beliau mangkat setelah menderita sakit. Kemangkatan PA VI yang mendadak cukup memberi kesulitan dalam menyiapkan figur pengganti. Putera sulung PA VI, Bendoro Raden Mas Haryo (BRMH Surtiyo) yang sedang belajar di Belanda telah meninggal. Sedangkan sang adik, BRMH Surarjo masih berusia 19 tahun dan bersekolah di Hollandsce Burgere School (HBS) di Semarang, kemudian berlanjut ke Afdeeling B Gymnasium Willem III di Batavia. Untuk mengisi kekosongan pemerintahan, dibentuk Dewan Perwalian (Raad van Beheer).

Dewan Perwalian diresmikan di rumah Residen Yogyakarta, R.J. Couperusber pada 20 Agustus 1903. Dewan ini berfungsi sebagai wali Kadipaten Pakualaman untuk mengurus masalah keuangan dan pemerintahan. Dewan Perwalian terdiri dari R.J. Couperusber (ketua), Pangeran Notodirojo (putera PA V), Pangeran Sasraningrat (putera PA III), F.C.H. van der Moore (Asisten Residen Kulon Progo), P.H. van Andel (Asisten Residen Yogyakarta), dan C. Canne (Sekretaris Karesidenan Yogyakarta).

BRMH Surarjo dipanggil pulang ke Pakualaman ketika masih sekolah di Afdeeling B Gymnasium Willem III di Batavia. Beliau dinobatkan sebagai Kepala Kadipaten Pakualaman pada 17 Desember 1906 dengan gelar KGPAA Prabu Suryadilaga. Beliau akhirnya mendapatkan gelar Paku Alam VII pada 1 Oktober 1921 setelah genap berusia 40 tahun.

PA VII dikenal memiliki pemikiran yang cerdas karena telah mengenyam pendidikan tradisional dan modern. Kecerdasan tersebut ditunjukkan dengan cara kerja yang sistematis dalam menata perekonomian di Kabupaten Adikarto serta memajukan pendidikan di lingkungan Kadipaten Pakualaman sebagaimana dengan pendahulunya sejak PA V.

PA VII juga giat memajukan kesusastraan dan kesenian, khususnya yang berkaitan dengan gamelan (seni musik), wayang orang, dan seni tari. Beliau memfungsikan diri sebagai narasumber penulisan sejarah, tradisi, dan kebudayaan Jawa untuk Dr. Gronemen, seorang peneliti tentang Jawa. Selain itu, bersama dengan Profesor Kera, seorang orientalis dari Belanda, PA VII juga membuat perpustakaan yang menyimpan berbagai literatur tentang pemerintahan, kebudayaan, dan kesusastraan.

Pada 16 Februari 1937 PA VII mangkat. Beliau digantikan oleh puteranya, KPH Prabu Suryadilaga yang naik tahta pada 13 April 1937 dengan gelar KGPAA Prabu Suryadilaga. Gelar Paku Alam VIII baru didapatkannya ketika Tentara Pendudukan Jepang datang ke Indonesia pada 1942.

PA VIII adalah sosok nasionalis yang dikenal sebagai dwitunggal bersama Sri Sultan Hamengku Buwana IX (HB IX). Salah satu sikap nyata dari kedua pemimpin ini adalah mengirimkan telegram kepada Soekarno-Hatta pada 19 Agustus 1945 yang berisi ucapan selamat atas Proklamasi Kemerdekaan RI 1945 dan terpilihnya Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia.

Pada 5 September 1945, PA VIII dan HB IX mengeluarkan amanat yang berisi bahwa Kadipaten Pakualaman dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menyatakan bergabung dengan NKRI. Amanat inilah yang kemudian dikenal dengan Amanat 5 September. Dari amanat ini, Pakualaman dan Ngayogyakarta Hadiningrat dikenal sebagai dua wilayah otonom yang pertama kali bergabung dengan NKRI sehingga pada perkembangannya, wilayah Pakualaman dan Ngayogyakarta Hadiningrat ditetapkan sebagai daerah istimewa.

Amanat 5 September berlanjut dengan pembentukan Badan Pekerja Komite Nasional Daerah Yogyakarta. Lewat persetujuan badan ini, akhirnya PA VIII dan HB IX sepakat untuk menggabungkan wilayah Kadipaten Pakualaman dengan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi satu wilayah dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 30 Oktober 1945.

PA VIII duduk sebagai Wakil Gubernur DIY sedangkan HB IX sebagai Gubernur. PA VIII juga sempat menjabat sebagai Wakil Dewan Pertahanan DIY pada Oktober 1946, Gubernur Militer DIY dengan pangkat Kolonel paska Agresi Militer Belanda II pada 1949, Anggota Konstituante pada November 1956, Anggota MPRS pada September 1960, dan Anggota MPR RI antara 1997-1999 dari Fraksi Utusan Daerah.

Ketika HB IX mangkat pada 1988, PA VIII menggantikan kedudukan HB IX sebagai Gubernur DIY. Saat gema reformasi membahana di Indonesia pada 1998, PA VIII bersama HB X mengeluarkan maklumat mendukung Reformasi Damai yang disampaikan dalam Pisowanan Ageng, 20 Mei 1998. Beberapa bulan kemudian, PA VIII sakit dan akhirnya mangkat pada 11 September 1998. 

Kepala Kadipaten Pakualaman akhirnya diampu oleh KPH Ambarkusumo yang naik tahta pada 26 Mei 1999 dengan gelar KGPAA PA IX. Beliau adalah Pakualam pertama yang naik tahta usai Indonesia merdeka. Pemimpin yang dikenal sangat dekat dengan rakyat ini pada 2003 diangkat sebagai Wakil Gubernur DIY mendampingi Sri Sultan HB X. Kedudukan wakil gubernur semata-mata adalah status yang langsung dikenakan kepada trah Paku Alam sebagi dwitunggal pemimpin di Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Dibaca : 18250 kali
« Kembali ke Sejarah Kerajaan / Kesultanan

Share

Form Komentar